Hagia Sophia, Jejak Kekuasaan dari Gereja Bizantium ke Masjid Ikonik Turki

Hagia Sophia – Bukan sekadar bangunan kuno. Ia adalah simbol kekuasaan, iman, dan politik yang berlapis-lapis sejarah. Di bangun pertama kali pada tahun 537 M oleh Kaisar Bizantium, Justinianus I, bangunan ini didirikan di jantung Konstantinopel kini Istanbul sebagai manifestasi kejayaan Kekaisaran Romawi Timur. Arsiteknya, Anthemius dari Tralles dan Isidore dari Miletus, menciptakan struktur menakjubkan dengan kubah raksasa yang menantang hukum gravitasi.

Dengan bahan-bahan terbaik yang di angkut dari seluruh penjuru kekaisaran pilar dari kuil Artemis di Ephesus, marmer hijau dari Thessaly, hingga batu kuning dari Syriam Hagia Sophia adalah monumen ambisi dan kekuasaan. Tak heran jika sejak awal ia sudah menggemparkan dunia: tak ada gereja di muka bumi yang bisa menyainginya.

Sejarah Lengkap Awal Mula Terbangunnya Hagia Sophia

Selama hampir 900 tahun, Hagia Sophia menjadi pusat Gereja Ortodoks Timur. Di dalamnya, para kaisar di mahkotai, upacara keagamaan di gelar megah, dan mosaik-mosaik Yesus, Maria, dan para santo terpajang anggun. Namun sejarahnya tidak pernah slot gacor.

Pada tahun 1204, Perang Salib Keempat menghancurkan segalanya. Pasukan Katolik Latin menyerbu Konstantinopel, merampas harta benda, dan menjadikan Hagia Sophia sebagai katedral Katolik Roma selama lebih dari 50 tahun. Banyak karya seni dirusak atau di curi, menciptakan luka sejarah yang tak mudah di sembuhkan.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di radiobuilding.com

Penaklukan Ottoman yang Mengubah Segalanya

Titik balik paling dramatis terjadi pada tahun 1453, saat Sultan Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel. Hari itu bukan hanya menandai runtuhnya Kekaisaran Bizantium, tetapi juga transformasi Hagia Sophia menjadi masjid.

Tanpa ragu, Sultan Mehmed langsung mengubah fungsi gereja menjadi tempat ibadah Islam. Salib di turunkan, lonceng di bungkam, dan kaligrafi Arab mulai mengisi ruang-ruang megah di dalamnya. Mihrab, mimbar, dan empat menara raksasa di bangun, menjadikan bangunan ini sebagai salah satu masjid paling monumental di dunia Islam.

Langkah ini bukan hanya tindakan spiritual, tapi juga politik. Mengubah gereja terbesar Kekristenan menjadi masjid adalah pernyataan supremasi Ottoman terhadap Eropa dan agama Kristen. Hagia Sophia pun menjadi simbol dominasi Islam atas jantung dunia lama.

Era Sekuler: Dari Masjid ke Museum

Namun, transformasi belum selesai. Pada tahun 1935, pemimpin revolusioner Turki, Mustafa Kemal Atatürk, melakukan gebrakan lain yang mengguncang dunia: ia mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Keputusan ini adalah bagian dari proyek sekularisasi Turki dan modernisasi ala Barat.

Lonceng, salib, dan ikon Kristen tetap tak di kembalikan, tetapi kaligrafi Islam juga tidak di singkirkan. Ini menjadikan Hagia Sophia sebuah ruang liminal hibrida budaya yang menyimpan lapisan-lapisan kepercayaan dan kekuasaan.

Ratusan ribu turis berduyun-duyun datang setiap tahun, mengagumi kubah besar dan lantai mosaiknya. Tapi bagi banyak Muslim konservatif, keputusan Atatürk adalah luka lama yang tak pernah sembuh. Mereka menginginkan Hagia Sophia kembali menjadi rumah ibadah, bukan sekadar obyek wisata.

Kembalinya Status Masjid di Abad ke-21

Juli 2020 menjadi titik balik yang memicu kontroversi global. Presiden Recep Tayyip Erdoğan, dengan penuh simbolisme politik dan keagamaan, resmi mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid. Pengumuman ini disambut sorak-sorai di dalam negeri dan protes tajam dari dunia internasional.

Salat Jumat pertama setelah perubahan status disiarkan langsung dan dihadiri oleh ribuan umat. Namun tidak semua orang bersorak. UNESCO mengecam langkah tersebut, Vatikan menyatakan keprihatinan depo 10k, dan banyak kalangan menilai tindakan ini sebagai bagian dari strategi Erdoğan untuk menggalang dukungan politik dari kalangan Islamis nasionalis.

Kini, bangunan bersejarah ini kembali menjadi tempat ibadah, tapi juga tetap terbuka untuk wisatawan. Namun status barunya membawa pesan kuat, Turki sedang merebut kembali warisan Islamnya, bahkan jika itu harus mengguncang tatanan sejarah dan diplomasi global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *